MODERASI BERAGAMA
- Diposting Oleh Admin Web PPID
- Rabu, 29 Mei 2024
- Dilihat 50 Kali
Oleh: Prof. Dr. H. Mohammad Kosim, M.Ag.
Istilah “Moderasi Beragama” dipopulerkan oleh Lukman Hakim Saifudin saat menjabat sebagai Menteri Agama RI (2014-2019), sehingga tidak salah jika beliau dijuluki sebagai Bapak Moderasi Beragama. Kini, moderasi beragama telah menjadi salah satu program prioritas nasional. Bahkan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama, pada 25 September 2023.
Sebagai sebuah program, moderasi beragama dapat dimaknai sebagai upaya memoderasi penganut agama, agar dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya tidak terjebak pada dua kutub ekstrem, baik yang terlalu ketat atau yang terlalu longgar. Kutub yang terlalu ketat hanya akan membenarkan agamanya dan tafsirnya dalam memahami agamanya dan menolak tafsir pihak lain/pilihan agama lain, disertai fanatisme berlebihan yang pada akhirnya melahirkan radikalisme dan kekerasan atas nama agama. Sedangkan kutub yang terlalu longgar cenderung mendewa-dewakan akal dan mengabaikan kesucian agama, demi toleransi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya.
Maka, dengan ikhtiar moderasi beragama, para pemeluk agama diharapkan memiliki pemahaman dan keyakinan agama yang kian mantap terhadap agama pilihannya disertai pandangan dan sikap terbuka (inklusif), dalam arti menghormati perbedaan tafsir terhadap ajaran agamanya, dan menghargai pihak lain yang memiliki keyakinan agama berbeda. Bahkan dengan pihak-pihak yang berbeda itu, mereka aktif mencari titik temu dan menggalang kerjasama untuk membangun keutuhan bangsa, menciptakan harmoni social, dan perdamaian dunia.
Moderasi beragama merupakan ikhtiar untuk membentuk karakter moderat dalam beragama. Ikhtiar ini perlu terus dilakukan karena dalam kenyataan masih sering ditemukan konflik-konflik berlatar agama yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa. Lebih-lebih karena Indonesia merupakan negara yang memiliki tingkat keragaman tinggi dari aspek suku, ras, agama, bahasa, dan budaya. Jika keragaman ini tidak dikelola dengan tepat dan hati-hati, maka akan menjadi faktor pemicu konflik antar umat beragama. Hal ini disadari betul oleh The founding fathers kita, sehingga memilih semboyan Bhineka Tunggal Ika, bersatu dalam keragamaan, sebagai semboyan nasional yang harus terus diperjuangkan.
Karena itu, pemerintah terus berikhtiar agar moderasi beragama menjadi komitmen bersama setiap warga negara. Setidaknya, ada sembilan nilai moderasi beragama yang sedang dipromosikan pemerintah dalam kehidupan berbangsa dan beragama, yakni melindungi martabat kemanusiaan, membangun kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, toleran, anti kekerasan, komitmen kebangsaan, dan menghargai tradisi lokal.
Jadi, moderasi beragama bukan berarti memoderasi ajaran agama. Mengapa? Karena ajaran agama telah moderat sejak lahir. Dengan kata lain, dari sisi ajaran, moderasi bukan sesuatu yang baru. Ajaran moderasi (wasathīyah) dalam beragama sudah ada sejak agama diperkenalkan kepada pemeluknya.
Dalam Islam misalnya, kendati hanya membenarkan agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw, pemeluknya dilarang memaksakan kehendak kepada pihak lain agar menganut agama Islam. Hal ini ditunjukkan dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 256 “Lā ikrāha fid dīn. Qad tabayyanar rusydu minal ghayy. Faman yakfur bit thāghūti wa yu’min billāhi faqad istamsaka bil `urwatil wutsqā lān fishāma lahā. Wallāhu samī`un `alīm” (Tidak ada paksaan dalam beragama [Islam]. Sesungguhnya telah jelas [perbedaan] antara jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barangsiapa yang ingkar kepada taghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang teguh kepada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui). Juga ditunjukkan dalam Surah Yunus ayat 99 “Walau syāa rabbuka la āmana man fil ardhi kulluhum jamī`an. Afa anta tukrihun nāsa hattā yakūnū mukminīn” (Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Apakah engkau [Muhammad] akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang beriman?).
Dalam sejarah dakwah Islam, Nabi memperhatikan betul pesan-pesan al-Qur’an tersebut. Dalam setiap dakwahnya, Nabi menyampaikan kebenaran ajaran Islam serta keuntungan bagi yang taat dan kerugian bagi yang ingkar, lalu mengajak orang-orang untuk masuk Islam, tanpa ada paksaan. Bahkan ajakan untuk memeluk Islam pun dilakukan secara bijak (bil hikmah), dengan nasihat yang baik (mau`idhah hasanah), dan--kalau diperlukan—berdebat dengan cara yang baik pula (wajādilhum billatī hiya ahsan)*15.
Editor: Achmad Firdausi / Humas